Taman Baca Baraoi - Awan kelabu masih menabir langit ketika tim melangkahkan kaki menaiki perahu motor yang telah disiapkan. Meski waktu telah menginjak pukul sembilan, gerimis yang mengembun sesekali masih menyapa. Tidak ada tanda matahari akan segera keluar dari peraduannya, karenanya kami memutuskan tidak akan menunggunya lebih lama lagi.
Kegiatan Manalih Lewu Desa Tumbang Tangoi Juli 2018 |
Setelah menyelesaikan beberapa persiapan, tim yang dibagi menjadi dua kelompok akhirnya berangkat. Suara alkon yang memecah keheningan, membawa kami semakin jauh dari dermaga desa membelah riak Sungai Baraoi, salah satu dari dua sungai yang mengapit Desa Tumbang Baraoi, Ibu Kota Kecamatan Petak Malai. Berbeda dengan Sungai Samba, hampir setiap hari sepanjang tahun, air sungai ini selalu keruh. Menurut warga, penyebabnya adalah karena banyaknya aktivitas penambangan emas tradisional di hulu dan sepanjang aliran sungai ini.
Tidak seperti biasanya, perjalanan kali ini menyisipkan sedikit perasaan was-was. Arus yang kian deras dan debit air yang terus meninggi, bukanlah sebuah isyarat baik. Pun langit yang masih kelabu bukanlah sebuah pemandangan yang pas untuk menemani perjalanan yang masih berjam-jam. Perlu konsentrasi ekstra bagi nakhoda untuk membawa perahu melaju dengan aman tak terkecuali dari batang-batang kayu yang hanyut terbawa arus.
Tim Manalih Lewu Tumbang Tango-Batu Tukan Juli 2018 |
Bagi saya yang menyukai anggrek, kekhawatiran itu sedikit terhibur oleh beranekaragam jenis anggrek yang tampak semarak, melekat di dahan-dahan pohon yang kokoh menjulang di sepanjang tepian sungai. Ada beragam jenis anggrek yang bisa dijumpai di sini, umumnya adalah spesies anggrek dari genus yang cukup umum seperti Cymbidium, Bulbophyllum, Dendrobium dan Coelogyne, namun ada juga dari genus Trichotosia, Flickingeria, dan beberapa spesies dari genus lain bahkan kita cukup mudah menemui Grammatophyllum speciosum, salah satu jenis anggrek dengan rumpun terbesar yang ada di dunia.
Bagi anggota tim yang pecinta durian, beragam ukuran buah durian yang juga begitu semarak menghias dahan-dahan pohonnya yang hampir dapat dijumpai disepanjang perjalanan adalah hiburan tersendiri. Daerah ini memang masih musim durian, di sepanjang tepian jalur sungai ini kita juga dengan mudah menemui pondok-pondok sementara yang dibangun khusus untuk menunggu buah durian.
Pondok Penjaga Durian Di Sepanjang Sungai Baraoi |
Jika biasanya kami hanya perlu waktu satu jam empat puluh lima menit, maka kali ini perlu tambahan waktu kurang lebih lima belas menit lagi untuk tiba di desa pertama yaitu Batu Tukan, namun desa yang akan menjadi tujuan pertama "Manalih Lewu" kali ini bukanlah Batu Tukan tetapi Tumbang Tangoi, yaitu desa kedua dengan waktu tempuh kurang lebih satu jam lagi ke arah hulu.
Dihuni oleh 639 jiwa, Tumbang Tangoi merupakan desa dengan jumlah penduduk terbanyak ke tiga di wilayah Kecamatan Petak Malai (Tahun 2017). Desa ini sedikit unik karena terbagi menjadi dua yaitu desa lama dan desa baru. Pemukiman lama terletak disebelah kanan sungai jika kita mengarah ke hulu. Merupakan desa awal yang pertama kali dibentuk, namun karena daerahnya rendah dan sangat rawan banjir, kini masyarakat mulai membangun tempat pemukiman baru di seberang sungai yang merupakan daerah dengan dataran lebih tinggi. Tahun 2017 lalu, sedikitnya banjir menerpa daerah ini sebanyak lima kali, tapi meskipun demikian masih banyak warga yang memilih bertahan disini.
Tiba di Desa Tumbang Tangoi kami langsung mendatangi rumah kepala desa, guna menyampaikan maksud dan tujuan sekaligus meminta izin untuk melaksanakan kegiatan "Manalih Lewu". Tiga jam perjalanan yang cukup menguras waktu, apalagi jadwal keberangkatan yang seharusnya pukul tujuh pagi harus tertunda beberapa jam karena kondisi cuaca membuat kami tidak berlama-lam dan langsung menggelar kegiatan setelah dipersilahkan.
Seperti halnya "Manalih Lewu" di dusun Tumbang Papi, dampak suasana libur yang bertepatan musim durian juga berimbas hanya sebagian anak-anak yang masih ada di desa. Sebagian dari mereka berlibur ke desa atau daerah lain, dan tidak sedikit juga yang pergi ke kebun atau ladang, tinggal di pondok-pondok untuk mengumpulkan buah durian.
Beberapa anak sedang membaca buku |
Pada awalnya banyak anak-anak merasa sungkan untuk bergabung, barangkali selain karena ini pertama kalinya tidak sedikit pula yang mengira mereka harus bayar untuk boleh membaca. Bahkan ada yang mengira kami adalah petugas kesehatan yang akan menyuntik mereka. Selain membaca, belasan anak yang bergabung terutama anak-anak yang duduk di sekolah dasar juga mendapatkan pengenalan bahasa inggris dari kak Catrine, serta belajar berhitung dari kak Edi. Mereka sangat antusias, bahkan beberapa anak yang sama berkali-kali mengajukan diri saat diberikan kesempatan untuk menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan.
Mengingat tujuan kami kali ini tidak hanya desa Tumbang Tangoi, maka sekitar pukul satu tiga puluh kamipun pamit setelah menitipkan sejumlah koleksi untuk Kantong Buku di desa ini. Sekitar 50an buku bacaan ini dititipkan pada salah seorang anak yang sekaligus akan menjadi "penjaga" Kantong Buku.
Kak Catrine saat Menitipkan Koleksi Kantong Buku untuk Desa Tumbang Tangoi |
Arus yang semakin deras memberikan sedikit keuntungan saat kami menuju ke hilir. Perjalanan Batu Tukan - Tumbang Tangoi yang tadinya ditempuh sekitar satu jam, saat kembali hanya membutuhkan waktu kurang dari 30 menit. Di Batu Tukan, kami tidak melaksanakan gelar buku. Kali ini kami hanya bersilturahmi di rumah keluarga Elsy anak yang menjadi penjaga "Kantong Buku", serta menukar koleksi buku yang ada dengan yang baru.
Perjalanan Menyusuri Sungai Baraoi menuju Desa Batu Tukan dan Tumbang Tangoi |
Kantong Buku di desa Batu Tukan sudah didirikan sekitar setahun lalu, buku bacaan yang tersisapun tidak banyak. Banjir besar yang merendam seluruh desa yang ada di Kecamatan Petak Malai hanya berselang dua hari setelah kami menitipkan koleksi. Keluarga Elsy, menyelamatkan buku ini ke atas atap rumah bersama beberapa barang lain yang bisa mereka angkut. Meski tersisa sedikit, buku daftar peminjam yang ada terisi penuh yang menjadi bukti bahwa antusias dan minat baca anak-anak di desa ini patut kita acungi jempol.
Setelah mengganjal perut dengan seduhan mie instan, serta tentu saja durian tim akhirnya melanjutkan perjalanan pulang menuju Desa Tumbang Baraoi. Sebuah perjalanan yang cukup melelahkan namun tidak akan pernah membuat kami berhenti untuk terus berbagi. Selamat bertemu di kisah "Manalih Lewu" kami berikutnya.