Tumbung dan Ingei
(Cerita Rakyat dari Desa Tumbang Baraoi, Kecamatan Petak Malai, Kab.Katingan)
Dahulu kala hiduplah sepasang suami isteri yang bernama Tumbung dan Ingei.
Keduanya hidup rukun dan damai, hingga suatu ketika mereka menerima sebuah
undangan yakni pesta “Sangka Lunuk” di kampung sebelah. Hari dimana pesta
tersebut akan digelarpun tiba. Tumbung berpesan kepada Ingei agar tidak
pergi lebih dulu. Ia ingin istrinya menunggunya pulang berburu. Saat
Tumbung pergi, teman-teman Ingei datang dan mengajaknya pergi. Ingei lupa
akan pesan suaminya. Mereka akhirnya berangkat menuju pesta Sangka
Lunuk,tanpa menunggu Tumbung.
Batu Tumbung |
Tak lama berselang, Tumbung pulang berburu. Ia membawa seekor monyet hasil
buruannya dan tidak sabar ingin menyerahkannya kepada Ingei untuk dimasak.
Namun, setibanya dirumah Ia tidak menemukan istrinya itu. Pria itu mencari
ke segala penjuru rumah, namun ia tetap tidak dapat menjumpai Ingei.
Pikirannya pun teringat akan pesta “Sangka Lunuk”.
“Apakah berangkat ke pesta tanpa menungguku”, ujarnya dalam hati. Dengan
rasa kesal dan marah, Tumbung menyusul Ingei ke desa sebelah tempat pesta
Sangka Lunuk berlangsung sambil membawa monyet hasil buruannya. Monyet
tampak seolah seperti manusia karena telah di dandani, dan dipakaikan baju
dan celana Ingei.
Tiba di pesta Sangka Lunuk, Tumbung akhirnya bertemu dengan Ingei. Namun,
kemarahannya justru semakin menjadi-jadi ketika mendapati Ingei justru
sedang bersama laki-laki lain. Ditengah amarah yang memuncak ia melemparkan
monyet yang dibawanya kehadapan Ingei dan kemudian berkata “Menarilah
bersama Ingei”.
Usai ucapannya itu, seketika langit menghitam, angin berhembus kencang,
kilat menyambar-nyambar dan suara petir menggelegar. Sesaat kemudian tempat pesta itupun diguyur hujan yang sangat aneh, bukan air yang turun melainkan batu, tempat pesta Sangka Lunuk
seakan akan berubah menjadi neraka. Semua orang berlarian termasuk Tumbung
dan Ingei.
Sadar akan bahaya yang mengancamnya, Tumbung berlari sekuat tenaga untuk menjauh dari tempat pesta itu. Malang, kakinya terlilit akar, dan Tumbungpun terjatuh saat berlari. Ia akhirnya
tertimpa hujan dan berubah menjadi batu. Ingei, yang juga sangat ketakutan lari kearah yang berlainan. Ia akhirnya tiba dan berlindung di rumahnya. Namun, meskipun di dalam rumah, langit seolah telah mengutuk keduanya. Ingei juga turut
berubah menjadi batu di dalam rumahnya.
Batu Tumbung dan Batu Ingei adalah dua buah batu besar yang terletak di dua tempat yang berbeda. Batu Tumbung, terletak di sisi Sungai Baraoi, desa Tumbang Baraoi, Kecamatan Petak Malai Kabupaten Katingan. Masyarakat percaya bahwa batu itu adalah perwujudan dari Tumbung dalam cerita yang telah berubah menjadi batu. Lokasi batu ini terletak tidak jauh dari desa, dan dapat di akses hanya beberapa menit jika menggunakan jalan darat, atau sekitar 10 menit jika ditempuh melalui jalur sungai.
Berbeda dengan Batu Tumbung, Batu Ingei terletak di sisi aliran hulu Sungai Samba. Menurut penuturan masyarakat setempat, dahulu orang sering mendengar suara tangisan di sekitar batu ini. Isak tangis itu diyakini sebagai bentuk penyesalan Ingei. Sementara untuk dapat mengakses Batu ingei hanya dapat dilakukan melalui jalur sungai. Untuk menuju lokasi dapat menggunakan alkon atau perahu motor tradisional dengan waktu tempuh sekitar 15 menit dari desa Tumbang Baraoi.