Tradisi Manugal dan Tradisi Membaca

tradisi manugal dan membaca
Mengisi waktu luang sembari membaca di pondok
Suku Dayak memiliki salah satu tradisi unik yaitu "manugal". Manugal adalah kegiatan menanam padi secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Dayak. Meski sama-sama menanam padi, proses ini berbeda dengan menanam padi di sawah. Padi di tanam di lahan kering yang telah disiapkan. Biasanya pada saat yang sama juga ditanam benih sayur-sayuran seperti timun, terong, dan jagung.

Lahan-lahan yang akan digunakan tersebut sebelumnya di tebas, kayu dan rumputnya dibiarkan mengering. Jika dianggap sudah cukup kering dan cuaca memungkinkan bekas tebasan ini kemudian dibakar. Proses dianggap sempurna jika semua batang-batang kayu terbakar dan tidak meninggalkan sisa. Namun jika masih ada kayu-kayu yang belum terbakar habis, maka perlu dibakar ulang.  Masyarakat Dayak memiliki kearifan lokal yang tinggi, meskipun dalam pengolahan lahan masih dengan sistem bakar, namun proses ini telah diperhitungan dengan matang sehingga api tidak pernah merembet atau menjalar ke hutan.

tradisi manugal suku dayak
Kegiatan membersihkan gulma atau rumput di ladang
Hampir seluruh proses sejak menyiapkan lahan, menanam hingga memanen dilakukan dengan gotong royong atau dalam istilah setempat disebut "handep". Karenanya setiap proses manugal selalu ramai, tidak hanya para orang dewasa tetapi juga anak-anak. Peranan anak-anak dalam proses manugal adalah membantu orang tua mereka. Anak-anak yang masih duduk di bangku SD dapat menjaga adik-adik mereka yang masih balita, membantu menyiapkan makanan dan mencuci piring atau berbagai hal lain yang dapat dilakukan oleh mereka. Sedangkan anak-anak remaja usia SMP dan SMA biasanya sudah cukup terampil mengikuti prosesi manugal. 

Prinsip berladang masyarakat Dayak umumnya masih menerapkan sistem semi ladang berpindah. Lahan yang digarap biasanya hanya dapat digunakan dua atau tiga kali berturut-turut. Setelah tingkat kesuburannya berkurang mereka akan meninggalkan dan membiarkannya menjadi 'hutan' kembali dan mencari lahan baru untuk digarap. Lahan-lahan yang telah ditinggalkan atau dibiarkan tersebut akan digarap kembali setelah beberapa tahun kemudian. Karena berpindah-pindah, kadang lahan yang mereka garap bisa berjarak cukup jauh dari kampung dan harus bermalam di pondok-pondok sementara. 

Pada masa awal-awal pendirian Taman Baca Baraoi yakni tahun 2014, sebuah hal yang lumrah jika pada musim 'manugal' banyak anak-anak yang 'ijin' untuk tidak bersekolah karena harus membantu orang tua mereka di ladang. Namun seiring waktu, dengan kehadiran taman baca, kesadaran dan pemahaman masyarakat khususnya para orang tua tentang pentingnya pendidikan, jumlah anak yang "absen" sekolah pada musim manugal jauh berkurang. Tidak sedikit pula anak-anak yang sudah terlanjur suka membaca tidak meninggalkan kegemaran mereka itu saat harus membantu orang tua mereka di ladang. Di pondok-pondok kecil yang dibangun sangat sederhana mereka tetap meluangkan waktu untuk membaca sembari menemani adik atau sekedar menunggu orang tua mereka kembali.